Gus Miftah, Standar Baru Kabinet

Kedua, untuk mengendalikan psikologi kaum outlaws binaannya itu. Bagaimanapun ia memiliki misi sebagai guru masyarakat. Untuk secara perlahan merehabilitasi mentalitas binaannya itu.

Ia tidak boleh kalah pamor. Tidak boleh kalah wibawa. Binaannya harus menurut dengan bimbingannya. Maka ia tempatkan dirinya selalu di atas. Tidak boleh rendah dari para binaannya. Jika kalah wibawa, misinya sebagai pembimbing akan gagal. Akan diabaikan binaannya itu. Di situlah tidak jarang memanggil dengan panggilan bernada merendahkan. Seperti mengatai “goblok” pada penjual es teh itu. Karena dipahami konteksnya sebagai guru dan murid. Pembimbing dan yang dibimbing.
Panggilan atau sapaan dirty jokes, pada segmen-segmen masyarakat tertentu bisa dipahami sebagai sapaah egaliter. Sebagai cerminan keakraban yang mendalam.

Dunia bawah tanah itu dunia rumit. Anti mainstream. Tidak banyak orang bisa menjalani peran sebagaimana GM. Bahkan oleh kyai-kyai NU sendiri.

Komplikasinya adalah ia kini (sebelum mundur), GM sebagai pejabat negara. Utusan Khusus Presiden. Perilakunya tidak bisa bebas lagi sebagaimana sebelumnya. Perilaku yang dinilai publik tidak memiliki kepantasan moral, risikonya tidak akan ditanggungnya sendiri lagi. Presiden juga akan menerima percikan risiko itu.

Tercermin dari kepanikan Istana. Ketika kasus GM mencuat dan memicu gelombang protes publik. Bahwa perilakunya mengata-ngatai “goblok” pada penjual es teh merupakan ketidakpantasan. Jaring-jaring istana membuat klarifikasi publik dengan nada menyudutkan GM. Berpihak pada arus publik.

Walaupun GM sudah melakukan permohonan maaf kepada penjual es teh, isu itu tidak berakhir.

Lihat juga...