Kepemimpinan Islam Tanpa Perang dan Kekerasan

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

Rezim Bashar Al Assad tumbang. Para pemberontak berkuasa atas Syuriah. Tema ini menyeruak minggu-minggu ini dalam diskursus dunia Islam.

Pro kontra terhadap pihak bertikai menguat. Seakan lupa peristiwa itu terjadi antar sesama ummat Islam sendiri. Siapapun kalah-menang, ummat Islam juga yang menderita.

Konflik Syuriah memperpanjang deretan paradoks, antara Islam dan perang/kekerasan. Islam ajaran inklusif. Rachmatan lil aalamin. Perang atau jalan kekerasan hanya dibenarkan untuk mempertahankan diri. Juga melawan ketidakadilan. Islam tidak membenarkan pemaksakan ajaran melalui kekerasan.

Sebagian ummat Islam sering lupa atas paradoks itu. Seakan kekerasan menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjuangan ummat Islam. Arusutama narasi perang dalam tubuh ummat Islam setidaknya ditandai tiga hal.

Pertama, glorifikasi romantisisme atas kisah kejayaan ummat Islam masa lalu melalui hegomeni kekuasaan. Hegemoni itu diraih dalam kisah-kisah pertempuran. Seperti kisah Al Fatih menakhlukkan konstantinopel.

Kedua, teoritisasi tentang prediksi-prediksi masa depan ummat akhir zaman. Akan adanya pertempuran besar antara kekuatan Islam dan kekuatan Dajal, serta kehadiran Imam Mahdi. Informasi akan adanya pertempuran Dajal – Imam Mahdi seringkali menjadi justifikasi adanya benturan-benturan dalam lingkungan ummat Islam.

Ketiga, glorifikasi sentimen ke-Islaman dalam memobilisasi dukungan ummat bagi setiap konflik dalam kalangan ummat Islam tertentu. Seperti dalam kasus Syuriah: pro-kontra terhadap masing-masing pihak bertikai.

Jika peperangan atau kekerasan tidak dibenarkan dalam penyebaran ajaran Islam, lantas apa penyebab terjadinya peperangan di kalangan masyarakat muslim?. Islam sendiri mengajarkan tidak ada paksaan dalam beragama.
Setidanya ada tida faktor. Faktor historis-politis, sosial-budaya, ekonomi.

Lihat juga...