Pilkada Jakarta 2024: Redupnya “Masyarakat Rasional” ?

Lantas apa kaitan dengan pilkada 2024?

Ialah adanya sejumlah anomali dari eksistensinya sebagai masyarakat rasional. Anomali itu diindikasikan setidaknya tiga hal.

Pertama, partisipasi pemilih. Rendah. Warga Jakarta tidak menggunakan hak pilihnya hampir menyentuh 50%. Konon partisipasi terendah dalam sejarah pilkada Jakarta.

Pertanyaan besarnya: kenapa warga Jakarta se-apatis itu. Tidak memiliki gairah memutuskan dan mengendalikan masa depannya sendiri. Membiarkan masa depannya dalam kendali inisiatif eksternal. Karakter seperti ini bukan ciri-ciri masyarakat rasional.

Kedua, berdamai dengan ortodoksi. Ditandai kerelaannya dipimpin “petugas partai”. Satu konsep kepemimpinan yang sedang ditolak mayoritas masyarakat Jawa. Bahkan mayoritas masyarakat Indonesia. Penolakan konsep itu salah satu alasan warga Indonesia menentukan pilihannya dalam pilpres.

Apalagi dalam kasus Jakarta. Kepemimpinan entitas politik itu sebelumnya menjadi musuh besar warga Jakarta. “Jakarta tidak mau dipimpin petugas partai”, begitu kata banyak warga Jakarta. Kini, dalam pilkada, warga Jakarta justru berdamai dengan konsep kepemimpnan itu.

Ketiga, indikasi adanya keputusan emosional. Ialah sebagai pelampiasan kekalahan Anies Baswedan dalam pilpres. Maka siapa yang dianggap “kawan politik” Anies Baswedan, maka ia akan dipilih. Tidak peduli “kawan politik” merupakan musuh idiologi sejak lama. Juga bukan atas pertimbangan kebutuhan strategis. Melainkan emosional politis belaka.

Ketiga indikasi ini merupakan lonceng kematian bagi eksistensi “masyarakat rasional”. Respon rakyat Jakarta terhadap pilkada menjauhi ciri-ciri eksistesinya sebagai masyarakat rasional itu.

Lihat juga...