Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
KPK geledah pengelola CSR BI dan OJK. Itulah berita happening minggu-minggu ini. Merupakan bagian rentetan gelombang pemberantasan korupsi. Ketika era pemerintahan Presiden Prabowo belum genap seumur jagung.
“Diduga CSR diselewengkan di luar peruntukan”. Begitu banyak media menulis.
CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan istilah corporate law. Dikenal pula dengan istilah TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan). Dikonstruk dari ide tanggung jawab perusahaan terhadap komunitas di luarnya. Perusahaan tidak hanya bertujuan mensejahterakan dirinya sendiri (shareholder). Melainkan juga bertanggung jawab mensejahterakan masyarakat di sekitarnya (stakeholder).
Payung hukum CSR /TJSL adalah pasal 74 UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Juga peraturan pemerintah (PP) 47/2012 tentang TJSL. Derivasi dari kedua aturan itu, masing-masing korporasi memiliki aturan internalnya sendiri. Pasal 15-16 UU 25/2007 tentang Penanaman Modal juga mengatur TJSL. Bahkan pasal 34 menetapkan sanksi administratif bagi pelanggarnya. Pasal 65 ayat (2) huruf b, UU 21/2014 tentang Panas Bumi juga mengatur TJSL.
Terhadap langkah KPK dan CSR, bisa dihadapkan dua pertanyaan. Pertama, kenapa terjadi korupsi dana CSR?. Kedua, seberapa efektif CSR mewujudkan tujuannya: peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar?.
Akumulasi dana CSR di Indonesia tidak kurang dari 80 triliun pertahun. Dana itu bisa berbuat banyak untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, di luar pembangunan melalui APBN. Faktanya CSR sering kurang dirasakan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat.