PIK: Rasisme, Kedaulatan dan Kesenjangan Sosial

Indonesia merupakan salah satu belahan dunia yang ideal untuk ditinggali. Memiliki potensi produksi pangan, ketersediaan energi-air dan cuaca nyaman-aman untuk tempat tinggal. Proyek PIK 2 menawarkan hunian mewah bagi siapa saja yang bisa membayar. Keberadaannya menjadi kantong pijakan bagi penduduk berbagai belahan dunia untuk datang dan menetap di Indonesia.

Proyek seperti PIK 2 tidak hanya satu lokasi. Berdiri di banyak tempat. Memicu kekawatiran sebagai pijakan datangnya ancaman kedaulatan dari luar. Oleh serbuan orang-orang luar untuk tinggal dan menguasai Indonesia. Kantong-kantong perumahan mewah yang tidak bisa dijangkau oleh kebanyakan rakyat Indonesia itu menjadi tempat ancaman kedaulatan berpijak. Untuk kemudian menjalar ke seluruh wilayah Indonesia.

Ketiga, isu kesenjangan sosial. Sebagai pemukiman mewah, hanya bisa ditinggali orang-orang berduit. Bukan oleh orang Indonesia kebanyakan. Kantong-kantong pemukiman mewah eklusive “orang asing” akan mempertebal rasa kesenjangan sosial itu.

Data menunjukkan pada tahun 1980-1996 pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,03%. Koefisien gini ratio pada periode itu antara 0,32-0,35. Sementara pertumbuhan ekonomi pada era reformasi berkisar 5%. Dengan koefisien gini ratio 0,35-0,42. Artinya kesenjangan kaya-miskin melonjak drastis pada era reformasi dibanding era orde baru.

Ketika realitas di atas: rasisisme-ancaman kedaulatan-kesenjangan sosial, tidak bisa diatasi sebatas pendekatan hukum. Harus ada format penyelesaian komprehensif-fundamental. Penyelesaian hukum hanya akan menjadi solusi reaksioner atas permasalahan besar yang dihadapi.