Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
Mencuatnya kasus penerbitan SHGB dan SHM pada wilayah laut di Tangerang merupakan perkembangan menarik. Kasus itu terbongkar beriringan dengan polemik pagar laut di wilayah perairan yang sama.
Pertama, mencuat beriringan dengan momentum rotasi kepemimpinan nasional. Presiden yang baru, Prabowo Subianto, secara tegas tidak mentolerir beragam penyimpangan. Besar atau kecil. Tidak ada kompromi dengan kejahatan. “Ikan busuk berawal dari kepala”, ia teriakan secara lantang di awal memimpin. Ia buktikan ucapannya itu. Tidak mau menjadi penyebab “ikan kebangsaan” busuk. Sejauh ini.
Kedua, kementerian ATR/BPN dipimpin menteri yang tegas. Tanpa basa-basi menertibkan penyimpangan. Menteri Nusron Wahid secara jujur mengemukakan adanya sertifikat hak guna tanah pada wilayah perairan. Tidak hanya di Tangerang. Tapi juga muncul di berbagai tempat lain di Indonesia. Bekasi. Sidoarjo. Juga temat-tempat lain.
Menteri juga mengemukakan temuan baru. Terdapat SHGB pada lahan hutan. Ia sampaikan secara terbuka. Tidak ditutup-tutupi kasus itu. Berikut langkah penertiban yang dilakukan. Walau belum semuanya. Setidaknya ada komitmen untuk menertibkan.
Kejujuran menteri ini tentu menjadi pukulan telak bagi para mafia tanah. Baik yang bergerak di dalam BPN. Jika ada. Maupun mafia tanah dari luar BPN.
Dalam disiplin kriminologi, dikenal teori 1:10. Mencuatnya satu tindak pidana sebenarnya hanya puncak gunung es. Sedikitnya dari satu tindak pidana itu menggambarkan 10 kejadian serupa yang tidak terungkap.
Komitmen presiden dan menteri ATR tentunya harus didukung. Beragam penyimpangan peruntukan lahan harus ditertibkan. Mafia tanah harus diberantas. Perlu “Legal Audit Aset Tanah” secara menyeluruh dan berkala.