Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
“Sayup-sayup terdengar suara TV bersahut-sahutan. Dari rumah-rumah di gang-gang sempit belakang Polsek Matraman Jakarta. TV disetel agak keras. Menyebut-nyebut nama Pak Harto. Terdengar pula suara anak-anak usia SD berlarian. Berteriak-teriak. ‘Pak Harto wafat…, Pak Harto wafat…, Pak Harto wafat…’. Tidak lama kemudian suasana menjadi hening”.
Begitu tulis buku “Presiden Soeharto dan Visi Kenusantaraan”. Menarasikan respon masyarakat mendengar Presiden Soeharto wafat.
“Deru mobil di jalan sebelah Polsek Matraman Jakarta biasanya rame. Kini terdengar seperti berhenti bersuara. Celoteh orang dan suara hiruk pikuk di kawasan itu seakan ikut berhenti bicara. Beberapa saat suasananya sunyi senyap. Layaknya sidem kayon. Seperti pukul 3.00 WIB dini hari. Di dalam hutan. Penghuni alam seakan turut berduka.”
“Saya sempatkan keluar gang. Memandangi situasi sekitar. Terpantul wajah-wajah warga seperti sedang memperoleh kabar kematian saudara dekatnya. Berita TV menjadi kabar lelayu. Kabar duka. Sejenak kemudian suasana duka menyelimuti wajah-wajah mereka. Wajah-wajah menyiratkan suasana kehilangan kerabat dekat.”
Itulah rekaman buku itu. Mengisahkan suasana Persiden Soeharto wafat. Minggu 27 Januari 2008. Enam belas tahun lalu.
Era itu belum ada medsos. Era blog. Publik biasanya membuat komentar-komentar di kolom berita. Dodi KL misalnya. Menulis puisi di kompas.co.id. Selasa 29 Januari 2008.
Ini puisinya :
UNTUKMU PAK HARTO
Dody KL- Oebobo Kota Kupang – NTT
Aku mengagumimu bukan karena Kau berjaya
Aku mengagumimu bahkan ketika Kau hancur
Diamuk massa yang Kau besarkan
Digilas demokrasi yang Kau ciptakan