Narasi “menunggu proses hukum” bisa diduga sebagai dalih penyelamatan kejahatan pagar laut itu. Memanfaatkan celah kelemahan penegakan hukum yang biasa terjadi.
Pertama, proses pengumpulan bukti akan memakan waktu lama. Satu bulan kasus mencuat, tidak ada yang menyatakan bertanggung jawab. Muncul klaim juru bicara nelayan sebagai penanggung jawab. Pernyataan itu diragukan. Diduga terdapat pelaku kuat dibalik pagar laut yang secara kasat mata berbiaya besar itu. Apalagi ada kapling wilayah laut dalam bentuk SHGB dan SHM. Sebuah pelanggaran hukum yang tidak bisa ditoleransi.
Kedua, proses hukum akan efektif menyasar para pion. Aktor intelektual tidak tersentuh. Apalagi jika dibalik kasus ini melibatkan oligarkhi. Lini aparat dan pembela hukum sudah terkondisikan sebagai alat pertahanan kekayaan. Sebagaimana teoritisasi Jefrey Winter. Terkait perilaku oligarkhi.
Ketiga, buying time. Lamanya proses hukum akan menjadi momentum buang-buang waktu. Kasus itu lama-lama dilupakan publik. Bahkan menemukan jalan keluar agar proyek pagar laut dan okupasi lahan tetap selamat. Konon nilai lahan itu bisa mencapai 300 T.
Keempat, ketidaktegasan pemerintah membuat pelaku serupa memiliki kepercayaan diri. Akan menjadi celah untuk menemukan model jalan keluar bagi pelakunya menyelamatkan aset. Apalagi kasus serupa diduga terjadi di banyak wilayah.
Pelibatan TNI AL merupakan langkah efektif. Setidaknya dalam beberapa perspektif.
Pertama, tindakan tegas TNI AL tidak menghalangi proses hukum. Barang bukti masih ada. Berlimpah saksi. Rekaman digital pembongkaran bisa dijadikan salah satu alat bukti adanya kejahatan itu.