Asta Cita Pertama
Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
“Memperkokoh Idiologi Pancasila, Demokrasi dan HAM”. Itulah poin pertama asta cita Presiden Prabowo. Satu dari delapan misi yang dijanjikannya kepada rakyat Indonesia. Jika terpilih sebagai presiden.
Seratus hari usia pemerintahan bisa dijadikan cermin komitmen atas janji itu. Daulat pangan, energi, air. Hilirasi. Penguatan SDM. Ketahanan nasional. Penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan beragam kejahatan. Politik luar negeri bebas aktif. Kesehatan masyarakat. Sudah tampak berupaya diwujudkan.
Hentakan kebijakan dan program pada 100 hari pertama sudah tampak begitu meyakinkan. Pada bidang-bidang itu. Tergambar optimisme akan langkah-langkah cepat presiden. Tidak heran jika tingkat kepuasan publik sangat tinggi. Di atas 80%.
Oposisi menjadi tidak berkutik. Bergemuruh memang. Tapi tidak berkutik. Upaya memecah pengkongsian antara Presiden Prabowo dengan Presiden ke-7 Jokowi juga melabrak tembok karang. Sejauh ini tidak berhasil.
Sikap kritis publik teralokasikan pada agenda korektif kebijakan. Pagar laut, antrian panjang gas melon, percepatan pemberantasan korupsi. Gerakan kritis itu juga diperlukan bagi pemerintah. Sebagai “Kompas” atas kinerja dirinya. Akan tetapi jauh dari mengusik eksistensi politik rezim berkuasa.
Akan tetapi di antara gebrakan-gebrakan itu ada yang kurang. Asta cita pertama belum tergambar konstruksi implementasinya. Khususnya memperkokoh idiologi Pancasila.
Pengokohan idiologi bangsa itu terkait beberapa hal:
Pertama, ketersediaan referensi memadai terkait konsepsi peradaban berdasarkan idiologi bangsa. Bukan sekedar rumusan teks kering makna dari sila-sila Pancasila. Karena belum adanya konsepsi penjabaran idiologi secara umum dalam perspektif pembangunan peradaban. Akibatnya substansi idiologi bangsa itu tidak dipahami meluas oleh publik. Keterkaitan rumusan teks idiologi dengan konstruksi peradaban yang hendak diwujudkan pada akhirnya juga tidak dipahami dengan baik.