Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi – 24/03/2025
Revisi UU TNI No. 34/2004 diwarnai gerakan anti Dwifungsi TNI. Gerakan itu tidak masif. Tidak berhasil menghambat. Revisi itu kemudian lolos mudah di DPR.
Bahkan kengototan sejumlah kelompok penolak utama kemudian meleleh. Argumentasinya, DIM (Daftar Invetarisasi Masalah) berubah. Berbeda dengan konten materi awal. Finalisasi perubahan itu tidak membuka ruang kembalinya Dwifungsi TNI. Maka penolak perubahan itu kemudian surut secara halus.
Kenapa begitu?. Mari kita cermati dari tiga perspektif. Ialah esensi Dwifungsi TNI, redefinisi HTAG (Hambatan, Tantangan, Ancaman dan Gangguan) dan karakteristik TNI.
Secara konsepsional, dulu, era Orba, dikenal Dwifungsi ABRI (kini disebut TNI). Era ketika Dwifungsi diterapkan secara penuh. Ialah fungsi ganda TNI/ABRI: fungsi pertahanan keamanan (hankam) dan sosial politik (sospol).
Sesuai fungsi pertahanan dan keamanan, ABRI menjaga ketertiban dan keamanan negara. Baik ancaman dari dalam maupun dari luar negeri. Sedangkan fungsi Sosial Politik, ABRI berperan dalam kehidupan sosial dan politik negara. Termasuk dalam pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan.
Fungsi Sosial Politik ABRI diimplementasikan dengan kehadiran fraksi TNI/Polri tanpa melalui proses pemilu. TNI/Polri memiliki satu fraksi di MR, DPR, DRD. Salah satu alasan kehadiran fraksi TNI/Polri di MR adalah untuk menjaga agar tidak terjadi perubahan UUD 1945. Agar tidak ada yang mengganti Pancasila sebagai dasar negara RI.
Revisi UU No. 30/2004 tidak mengembalikan fungsi Sosial Politik TNI itu. Sebagaimana implementasinya pada era Orde Baru. Maka narasi anti Dwifungsi pada perubahan UU itu dinilai sebagai propaganda belaka. Tidak sesuai realitas. Para penolak revisi RUU TNI tidak memiliki pijakan intelektual yang kuat atas tudingannya itu. Maka para pendukung Anti Dwifungsi menjadi meleleh.