Terdapat juga pendapat hukuman potong tangan untuk meredusir kemampuan mencuri. Maka dipotong jempolnya saja. Agar tangannya tidak dipergunakan mencuri.
Tapi situasi sekarang berbeda dengan latar belakang gagasan potong jempol. Pencurian saat ini tidak perlu tangan secara fisik. Korupsi bisa dengan pengaruh untuk mengintruksikan berbagai jaringan pendukung melakukan korupsi. Jadi asumsi pencurian itu adalah mengambil barang dengan tangan, sudah gugur dengan kondisi saat ini. Potong tangan tidak bisa diganti dengan potong jempol.
Hukum potong tangan merupakan ketentuan Tuhan dalam konsep Islam. Akurasinya tidak perlu diragukan. Perlu diuji coba penerapannya. Perlu dijadikan hukum positif sebagai vonis pelaku korupsi. Selain pengembalian aset, kurungan/penjara, juga dilakukan potong tangan.
Bisa saja dibuat berbagai tingkatan hukuman. Korupsi ringan dipotong berapa jari. Setidaknya tidak bisa operate laptop dan HP untuk menginstruksi jaringannya melakukan korupsi. Korupsi sedang dipotong berapa jari. Megakorupsi dipotong tangan. Misalnya saja. Tinggal dibuat hukum acaranya.
Potong tangan juga bisa menjadi label sosial. Orang yang terpotong jarinya, itu korutor. Kemana-mana akan ketahuan.
Bukankah negara kita bukan negara Islam?. Negara kita negara Pancasila. Tentu itu betul. Dan tidak perlu mengubah dasar negara.
Ini soal keadilan hukum. Bisa mengambil mode vonis manapun untuk mewujudkan keadilan. Hukum modern bertumpu pada keyakinan bahwa keadilan bisa ditegakkan. Memberi efek jera orang lain untuk tidak melakukan kejahatan.
Jika hukum potong tangan dinilai mampu meredam korupsi (pencurian besar). Tentu tidak salah untuk diterapkan. Bukankah begitu?